Sepenggal Siang di Pulau Haruku

Matahari Bulan Oktober di atas Pulau Haruku, menarik diriku untuk mengunjungi Pulau yang selain indah, juga menjadi bagian penting dari mata rantai sejarah panjang bumi pertiwi. Tidak sabar rasanya untuk mendatangi beberapa situs bersejarah yang masih tersisa di sana. Terutama peninggalan Portugis dan Belanda. Seperti juga yang masih bisa disaksikan di gugusan pulau-pulau lainnya di Propinsi Maluku dan Maluku Utara.

LOKASI

Pulau Haruku bersama dengan Pulau Saparua dan Nusa Laut termasuk dalam gugusan kepulauan Lease. Secara Administrasi pemerintahan, berada di Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku. Di sebelah barat berbatasan dengan Pulau Ambon, Ibu Kota Propinsi Maluku. Di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Saparua. Karena letaknya berdekatan, maka setelah berkeliling di Pulau Haruku, kami rencananya tidak langsung kembali ke Pulau Ambon, tapi singgah dahulu ke Pulau yang identik dengan perjuangan Pahlawan Nasional Kapitten Pattimura tersebut. Sedangkan Pulau Seram berada di sebelah selatan pulau yang dikelilingi oleh pantai berpasir yang berkilau keperakan di terpa sinar mentari tersebut.

TRANSPORTASI

Sejak pagi tadi, guide sudah menyampaikan bahwa karena pertimbangkan waktu, kita akan menyeberang ke Pulau Haruku dengan menggunakan speed boat bukan kapal penyeberangan biasa. Dari pusat kota Ambon ke pelabuhan Tulehu diperlukan waktu sekitar satu jam, karena sayang kalau melewati begitu saja keindahan panorama perbukitan dan tepi laut di sepanjang perjalanan. Sedangkan waktu tempuh dengan speed boat ke Pulau Haruku sekitar 30 menit. Waktu yang terlalu singkat bagi saya penikmat birunya langit dan laut khas Indonesia bagian Timur. Walaupun sangat terik tapi dapat bernafas dengan lega karena bebas polusi udara. Apalagi di sepanjang perjalanan kita bertemu dengan gugusan pulau Maluku lain, yang menggoda kita untuk mengunjunginya. Tapi untuk sebagian wisatawan yang terganggu dengan teriknya matahari, waktu 30 menit mungkin terasa lama dan tidak nyaman.

Begitu speed boad menancapkan jangkar di Pelabuhan Pelauw Pulau Haruku, kita akan disambut keramahan nelayan dan masyarakat yang sedang beraktivitas di pinggir / pelabuhan. Sambil memilah ikan di jaring atau di perahu, mereka menyempatkan diri tersenyum sambil menyapa. “Selamat siang Kakak”. Dan anak anak yang sedang bermain di pantai, beralih mendekati kita sambil bergaya minta di foto dengan tersenyum lebar hingga nampak gigi mereka yang putih dan berjajar rapih. Awal yang menyenangkan sekali.

PENDUDUK

Masyarakat Haruku meyakini bahwa mereka berasal dari Pulau Seram. Nenek moyang mereka karena berbagai alasan, lalu pindah ke Pulau Haruku.

Secara kasat mata, fisik penduduk Pulau Haruku seperti percampuran antara timur dan barat. Dengan kulit berwarna dan kriting rambut khas Indonesia timur namun berhidung tinggi dan mata berwarna coklat kehijauan seperti orang Eropa. Mungkin terkait dengan pendudukan Portugis dan VOC/kolonial Belanda di sana. Bahkan Portugis sempat membangun ‘kota’ Zeelandia di Haruku.

Tidak mudah mencari rujukan sejarah tertulis mengenai Pulau Haruku. Sehingga sebagian cerita sejarah Haruku sebelum kedatangan Portugis yang beredar adalah penuturan lisan dari generasi ke generasi. Sedangkan beberapa catatan yang tersisa di Rumah Raja pun telah dihancurkan atau dibakar oleh tentara Jepang yang sempat menguasai Pulau Haruku. Berbeda halnya dengan catatan sejarah tentang masuknya Portugis dan pendudukan kolonial Belanda yang tersebar dalam berbagai literatur sampai di negeri Belanda.

Walau demikian, ketentuan adat tetap mereka pegang teguh walaupun diwariskan secara lisan. Seperti susunan pemerintahan negeri. Atau event Sasi Lompa, untuk melestarikan sumber daya laut Haruku.

SITUS SEJARAH

Seperti telah disampaikan di atas, Di Pulau Haruku kita masih dapat melihat langsung situs bersejarah. Seperti Benteng Hoorn dan Benteng Nieuw Zeelandia serta meriam yang berserakan di berbagai sudut Pulau Haruku. Benteng-benteng tersebut dilindungi sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan UU no 11 Tahun 2010.

Tidak sulit menemukan situs sejarah Benteng Hoorn. Benteng tersebut berada di tengah pemukiman warga Desa Pelauw yang cukup padat. Masyarakat desa tahu bahwa salah satu tujuan kita berlabuh di Pulau Haruku adalah ingin mengunjungi benteng tersebut, sehingga tanpa kita bertanyapun, mereka dengan ramah dan antusias menunjukkan lokasi benteng. ” Kakak mau lihat Benteng Hoorn kan? Kakak naik dari sini terus naik ke atas jalan terus ke sebelah kiri ya, kak”

Benteng yang cukup dirawat dengan baik dan menjadi kebanggan masyarakat tersebut, didirikan oleh kolonial Belanda pada tahun 1785. Begitu yang terbaca di papan pengumuman sebelum kita memasuki gerbang benteng.

Konon, benteng tersebut termasuk benteng pertahanan Belanda dalam menjaga Pulau Haruku hingga Pulau Ambon dan Seram. Namun ada pula yang meragukan fungsinya sebagai benteng pertahanan; Dengan alasan fisik Benteng Horn tidak seluas dan sekokoh benteng-benteng di lainnya di Kepulauan Maluku (saat pendudukan kolonial).

Matahari semakin terik. Setelah merasa cukup berkeliling di Benteng yang berbatasan langsung dengan laut tersebut, saya bergegas menuju benteng berikutnya.

Benteng Nieuw Zeelandia juga berdiri persis di depan Laut. Letaknya sekitar beberapa ratus meter di sebelah kiri dari Benteng Hoorn. Kedua benteng tersebut merupakan bangunan peninggalan VOC/ kolonial Belanda.

Menurut guide, bentuk dan struktur Benteng Nieuw Zeelandia mirip dengan Fort Zeelandia yang berada di Suriname, negara yang juga pernah dijajah oleh Belanda. Benteng yang di bangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Gorkum pada tahun 1626 tersebut, semula diberi nama Fort Zeelandia saja. Penambahan kata ‘Nieuw’ di depan ‘ Zeelandia’ terjadi setelah bangunan benteng mengalami perluasan pada tahun 1655.

Benteng tersebut menjadi sangat terkenal karena terkait dengan peristiwa bersejarah di Benteng Duurstede yang terletak di Pulau Saparua. Pulau yang nanti akan saya kunjungi juga.

Singkat cerita, setelah Kapiten Pattimura berhasil menduduki Benteng Duurstede pada bulan Mei tahun 1817, pasukan kolonial Belanda kocar kacir, terdesak menyelamatkan diri ke Pulau-pulau di sekitar Pulau Saparua. Salah satu yang terdekat adalah Pulau Haruku. Hal tersebut -di satu sisi- justru memperkuat kedudukan mereka di kepulauan Maluku dengan menyusun pertahanan dari Benteng Nieuw Zeelandia.

Sekitar tahun 1862, setelah secara umum kepulauan Maluku tunduk di bawah kekuasaan kolonial Belanda, maka fungsi benteng Nieuw Zeelandia berubah dari benteng pertahanan menjadi gudang cengkeh. Seperti kita ketahui bersama, misi awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara selain menyebarkan agama Nasrani juga menjalin hubungan dagang langsung negara sumber / penghasil rempah-rempah.

Maka dimulailah fase intensif penanaman rempah-rempah, terutama cengkeh di Pulau Haruku, Saparua, Ambon dan Ternate. Di pulau lainnya difokuskan untuk penanaman Buah Pala dan Kenari, misalnya. Hasilnya untuk dipasarkan ke Negara di Benua Eropa lainnya.

Karena difungsikan sekedar sebagai gudang, maka Benteng Nieuw Zeelandia kurang terawat. Semakin hari semakin runtuh. Sisa benteng yang masih bisa kita lihat sekarang, tinggal sisi kiri. Itupun sudah miring, struktur batu sudah renggang. Selain karena abrasi yang terus menerus menggerus bangunan benteng. Sungguh diperlukan perawatan segera untuk menyelamatkan situs bersejarah tersebut.

Ada satu hal lagi yang menjadi kebanggaan dan panutan masyarakat Pulau Haruku, yaitu Gubernur Maluku yang pertama, J Harharry berasal dari Pulau Haruku. Dan sebagai penghormatan dan mengenang jasa-jasa beliau mempersatukan masyarakat Maluku yang terdiri dari berbagai suku, maka di bangun Patung beliau di tepi pantai menghadap ke laut, di dekat meriam peninggalan kolonial Belanda. Namun sayang meriam tersebut ‘berhias’ coretan dari pilox.

Matahari sudah semakin memanggang kulit. Awak speed boat meminta kami untuk segera naik ke kapal dan meninggalkan Pulau Haruku untuk segera menyeberang kembali ke Ambon, karena ada sedikit masalah dengan kondisi kapal. Itu artinya, kunjungan ke Pulau sarat sejarah Saparua di tunda esok hari.

Anak-anak dan warga yang sedang menikmati siang di tepi pantai, mengantarkan kami dengan senyum dan lambaian tangan, sambil berkata “Kakak, kapan nanti datanglah lagi, kitakan bersaudara”. Keramahan tulus yang mengantarkanku pada doa, semoga segera kembali ke Haruku, menikmati siang lebih lama sambil memahami kearifan budaya mereka.

67 Comments

  1. Aku suka dg cara mba tuty mengambil foto. Simetris, pas gitu. Aku bingung apa istilahnya. Walau ada yg diambil dr sudut yg miring tapi tetap simetris. Dan aku bingung cara membahasakannya. Intinya, aku suka!

    Liked by 1 person

    1. Terimakasih Kak. Aselinya tidak mudah untuk memotret seperti itu, karena udara yang panas menyengat membuat kamera saya sering hang dan lensa jadi ‘gelap’ . Jadi saya mencoba mengarahkan kamera ke sudut tertentu, terus ‘jepret’.

      Like

    1. Hi Kak Wulan, iya kak sangat menyenangkan mengunjungi pulau – pulau di Propinsi Maluku. Sangat indah, sarat sejarah dan masyarakatnya sangat bersahabat. Terimakasih sudah mampir ya, Kak

      Like

    1. Rencana awal ke sana dalam rangka wisata sejarah. Tapi yang saya dapat lebih dari itu, keindahan alam yang tak terlupakan, akulturasi budaya dan kerinduan menikmati siang di tepi pantai di setiap situs sejarah…

      Like

  2. Pulau Haruku.. Kalau mode anak jaman now.. Harajuku.. Hehe..
    Baca tulisan Mbak Tuti, seakan-akan jadi ikut berpetualang.. Sambil ikut berdoa.. Semoga suatu saat, saya akan menjejakan kaki disana.. Aamiin..

    Liked by 1 person

  3. Saya baru tahu ada Pulau Haruku di Indonesia, dari namanya saya kira ada di Jepang atau negara lain, ternyata ada di negeri kita tercinta. Semoga suatu saat dapat mengunjungi tempat bagus itu.

    Liked by 1 person

  4. Awal baca judulnya kirain pulau di Jepang, teh, ternyata di Maluku ya. Aku suka wisata sejarah plus pantai, sepertinya akan bahagia sekali kalau kesana ya, menikmati peninggalan sejarah dan disuguhi pemandangan yang indah. Terima kasih ceritanya, teh tuty 🙏

    Liked by 1 person

    1. Wisata sejarah seantero Maluku memang sangat menarik. Di beberapa situs kita seperti terbawa ke masa saat bangsa Eropa menguasai Pulau 2 tersebut. Karena beberapa peninggalan sejarah masih bisa kita saksikan….

      Like

  5. Teh Tuty, Indonesia timur memang menawan sekali lautnya. Bentengnya juga bagus banget, pengen banget ke pulau Haruku. Terima kasih infonya

    Liked by 1 person

  6. Yaaay akhirnya Kak Tuty nulis tentang perjalanan ke Maluku! Menyenangkan sekali ya Kak perjalanannya. Suka banget sama deskripsi laut dan langit biru khas Timur, keramahan penduduknya, nilai-nilai sejarah dan keindahan Pulau Haruku. Keren! Ditunggu kelanjutan ceritanya, Kak.

    Liked by 1 person

  7. Awalnya sebelum membuka blog aku akan menemukan puisi, rupanya laporan perjalanan di Pulau Maluku. Jadi seperti ikut merasakan, menikmati suasana di sana. Menjadi makin rindu sama Air asin. #dari beberapa hari lalu memang sudah sakau laut.

    Liked by 1 person

    1. Hi hi hi di blog yang ini, saya mencoba belajar menulis catatan perjalanan. Bawah lautnya keren banget lho kak. Sepertinya Kak Reno pun akan suka…. Terimakasih ya Kak sudah mampir

      Like

    1. Sepertinya scenario saya sudah dibaca Mas Yudi nih. Setelah catatan perjalanan ke Pulau Nusa Laut di posting baru dech tentang Saparua. Biar kayak alur cerita di film film … Btw terimakasih Mas Yudi atas kunjungannya

      Like

  8. “Kakak, kapan nanti datanglah lagi, kitakan bersaudara”.
    Ah baper sekali baca kaliamat ini. Kebanyakan wisata di maluku sepertinya wisata benteng ya kak? Saya pernah naik benteng di pulau tidore. Dan pemandangannya keren sekali. Sayang benteng di pulau haruku ini sepertinya kurang terawat.

    Liked by 1 person

    1. Benar Kak Leni, menurut guide ada sekitar 300 benteng yang didirikan oleh Portugis/VOC maupun kolonial Belanda di seluruh Provinsi Maluku. Kisaran jumlah yang sama mereka juga membangun benteng di Maluku Utara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya daerah tersebut di pertahankan.

      Liked by 1 person

  9. kali pertama baca tulisan mbak tuty yg bukan puisi. dan bahasanya masih sama indahnya.

    benteng di tepi pantai, cantik dan romantis

    Liked by 1 person

Leave a comment